Etika Bisnis
Pilih Bahasa : English
PENDAHULUAN
Bagi para pejabat Orde Baru, bisnis dan etika adalah dua pengertian yang bertentangan. “Bisnis itu kotor, tidak bermoral”, seperti barang kali sering didengar. Dalam cara berpikir itu, orang yang memasuki dunia bisnis harus siap untuk melakukan tindakan-tindakan yang lazimnya dianggap “kotor”, seperti menyuap untuk memenangkan tender, memanipulasi takaran dan timbangan untuk meraup keuntungan lebih, memanipulasi tagihan dan kuitansi untuk memperoleh pendapatan tambahan, menggunakan bahan yang membahayakan konsumen untuk menekan ongkos produksi, memaksa iklan yang mengundang nafsu calon pembeli untuk mendongkrak volume penjualan, memberi informasi yang tidak benar tentang produk yang dipasarkan, menakan upah buruh, menyisihkan pesaing dengan cara-cara curang, memalsukan merek dan produk pesaing, memanipulasi laporan keuangan untuk kepentingan pajak maupun untuk perdagangan saham- begitu banyak lagi perilaku “kotor” yang masih dapat ditambahkan dalam daftar ini. Boleh dikatakan apa yang dalam hidup sehari-hari dianggap tidak pantas, dalam bisnis dapat dianggap lazim.
Namun pendapat itu bukan hanya pendapat pelaku bisnis zaman Orde Baru saja. Sadar atau tidak, sebagian pejabat, pelaku bisnis dan masyarakat luas era Indonesia baru ini barang kali masih mengidap mitos bahwa “etika bisnis” adalah pengertian yang dalam dirinya sendiri mengandung kontradiksi. Dalam arti inilah, reformasi total harus juga berarti reformasi kultural yang efektif tidak dapat diharapkan berlangsung dalam hitungan hari atau bulan.
Program-program akselerasi lebih sering malahan menimbulkan konsekuensi yang kontraproduktif. Yang penting ialah orientasi yang jelas dan adanya konsistensi, ditujukan kepada orientasi kultural yang baru.
Bahkan USA sebagai kiblat dunia bisnis pernah mengalami zaman gelap etika bisnis dan tidak pula luput dari jamahan perilaku bisnis yang tidak etis. Ada zaman dimana para selebriti dari panggung bisnis Amerika selain dijuluki “captains of industry” dijuluki pula “robber barons”, akibat perilaku bisnis mereka yang dianggap bertentangan dengan kepantasan publik. Di USA, etika bisnis sebagai elemen kultur bisnis dalam bidang pemasaran dianggap merupakan garis demarkasi antara era “hati-hati pembeli” dan “hati-hati penjual” juga pernah dianggap sebagai pengertian yang mengandung kontradiksi. Bahkan hingga tahun 1960-an, kata “etika bisnis” masih sering diolok-olok sebagai “oxymoron”.
Begitupula pengertian “bisnis” bertentangan dengan pengertian “etika”, karena untuk keberhasilan mereka, para pelaku bisnis dianggap harus berani melakukan tindakan-tindakan tidak terpuji. Namun memasukkan “etika bisnis” dalam lelucon itu kini tidak lagi sesuai dengan kenyataan. Semakin banyak kalangan yang menganggap bahwa kata “etika” tidak lagi bertentangan dengan kata “bisnis”. Beberapa pakar manajemen menganggap kata “etika” merupakan penyeimbang bagi kata “bisnis”, dengan keseimbangan itu bisnis menjadi sehat. Beberapa yang lain malah mengobservasi bahwa pengertian “etika” itu termuat dalam pengertian “bisnis”, utamanya bisnis yang sukses dan bertahan lama dalam jangka panjang. Nilai-nilai etika seperti keuntungan dan kesejahteraan bersama, hak-hak azazi manusia, keadilan dan pelestarian lingkungan, diperhitungkan kedalam proses pengambilan keputusan bisnis. Norma-norma perilaku yang menjamin nilai-nilai etis itu dituangkan kedalam perangkat hukum, menjadi kewajiban dan larangan, serta aturan-aturan asosiasi industri ataupun kode etik perusahaan. Norma-norma perilaku menjamin nilai-nilai etis itu dituangkan kedalam kesepakatan global yang diamandemen oleh semakin banyak negara.
Tidak semua usaha kodifikasi itu berhasil. Dalam usaha perumusannya pun mungkin ada banyak nilai etis yang kurang memperoleh perhatian memadai atau bahkan sengaja atau tidak sengaja dilanggar. Tapi setidaknya, kesadaran akan perlunya kepantasan moral dalam perilaku bisnis semakin menyebar luar.
Revolusi teknologi informasi mempunyai andil besar dalam menyebarluaskan kesadaran moral bisnis. Namun teknologi tidak dapat bermakna banyak tanpa faktor manusia yang mengatur, mengarahkan dan memanfaatkannya.
Kesadaran modal bisnis lewat jaringan komunikasi akhir abad ke-20 dimungkinkan berkat munculnya kekuatan baru yang dapat mengontrol dan mengoreksi kekuatan politik dan sentra-sentra bisnis. Serikat buruh, Gerakan konsumsn, Gerakan perempuan, Gerakan lingkungan hidup, Gerakan perdamaian, Gerakan mahasiswa, Pers independen, adalah beberapa kekuatan publik yang mampu melakukan kontrol terhadap kedikdayaan bisnis dan politik, negara dan partai-partai politik banyak mengambil alih agenda gerakan-gerakan publik itu.
Lingkungan eksternal bisnis, utamanya pelanggan dan publik luas, merupakan sebagian saja dari pihak-pihak yang memicu pasang naik etika bisnis. Manajemen lingkungan internal yang efektif juga mensyaratkan dihormatinya nilai-nilai kepantasan moral itu. Pekerja tidak lagi dilihat sebagai faktor produksi yang bekerja berdasarkan ganjaran dan hukum, melainkan dilihat sebagai insan berbudaya yang dengan bekerja mengekspresikan dorongan untuk hidup dan bertumbuh secara unik.
Komitmen, kinerja dan produktivitas karyawan dianggap dipengaruhi oleh kepemimpinan yang dilandasi nilai-nilai etika. Nilai-nilai etika diusahakan untuk menjadi perilaku sehari-hari dalam “budaya organisasi”.
Kesadaran akan perlunya kepantasan moral dalam perilaku bisnis juga menyentuh persaingan di antara usaha-usaha bisnis. “Free market” harus dimengerti pula sebagai “fair market”. Para pesaing harus menghormati “fairness” itu kalau tak ingin jatuh kedalam situasi “hukum rimba” bisnis, setiap perusahaan adalah “serigala” bagi para pesaingnya. Dalam ‘hukum rimba’ bisnis, persaingan adalah ‘pertarungan’ dari semua melawan semua, dan dalam banyak kasus hal semacam ini merugikan semua pihak. Kebangkrutan dunia usaha Indonesia akibat terpaan krisis moneter 1997 tampaknya juga disebabkan oleh ‘hukum rimba’ bisnis ini. Maka dalam era reformasi ini, upaya menyatukan ‘supremasi hukum’ janganlah diplesetkan menjadi ‘supremasi hukum rimba’.
Dengan demikian ada tiga kritik penting dapat dialamatkan kepada pendapat bahwa pengertian ‘etika bisnis’ mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri. Pertama, bahwa bisnis melenium ketiga menghadapi publik yang semakin kritis, termasuk dalam harapan mereka atas perilaku etis bisnis. Kedua, bahwa kinerja lingkungan internal organisasi bisnis juga ditentukan oleh ada atau atau tidaknya kepemimpinan yang sarat nilai. Ketiga, bahwa etika bisnis diharapkan dapat mencegah persaingan bisnis menjadi ‘perang dari semua melawan semua’ yang pada akhirnya hanya akan merugikan semua pihak.
Kalau kritik ini diterima, dan kalau ‘etika bisnis tidak lagi dipahami sebagai pengertian yang mengandung kontradiksi internal, maka perilaku bisnis perlu memperhatikan ‘nilai-nilai yang terlibat’ maupun ‘pihak-pihak yang terlibat’ dalam suatu dilema etis atau dalam suatu pengambilan keputusan yang memuat masalah etis. Dengan ‘nilai yang terlibat’ dimaksudkan nilai-nilai etis yang dimungkinkan dilanggar atau, sebaliknya, diwujudkan dalam keputusan bisnis yang diambil. Keuntungan ekonomis, kesetiaan karyawan, kesetiaan pelanggaran, kepuasan kerja, kesetiaan dan kepuasan pelanggan, kesejahteraan umum, hak-hak azazi pekerja, konsumen dan hak-hak azazi manusia pada umumnya, keadilan dan ‘fairness’, semua itu perupakan contoh-contoh dari nilai-nilai yang dapat diwujudkan atau dikorbankan dalam pengambilan keputusan.
Diskusi mengenai utilitarisme sebagai penalaran teologis atau konsekuensilitas dan mengenai hak azazi serta keadilan sebagai dasar deontologis bagi etika bisnis untuk sebagian besar memuat diskusi mengenai nilai-nilai yang terlibat ini.
Dalam etika umum, William K. Frankena menyebut pihak-pihak yang perlu dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan sebagai ‘moral patient’. Dalam etika bisnis sebagai etika terapan, konsep ‘moral patient’ telah mengalami perluasan dari konsep pemilik perusahaan menjadi semua yang terlibat, yang nasibnya dipertaruhkan, dipengaruhi, diubah oleh suatu keputusan atau perilaku bisnis tertentu.
PERMASALAHAN DAN IMPLIKASI
Perilaku perusahaan beserta perrangkat internalnya dalam interaksi dengan lingkungan sekitar akan menentukan kualitas keberadaan perusahaan. Semua ini rupanya didasari oleh keyakinan apa yang baik bagi masing-masing. Sedangkan apa yang baik bagi masing-masing kalau ditelusuri sejauh disadari dalam kaitannya dengan manusia akan bermuara pada apa yang baik bagi manusia, yakni moral, karena nilai moral disadari menjadi dasar kebernilaian yang lain. Masalahnya adalah terdapat berbagai pendapat tentang nilai dan norma moral di dalam masyarakat, dan kalaupun nilai dan norma moral disepakati masih muncul masih muncul persoalan tentang bagaimana nilai dan norma moral itu bisa selalu mewujud dalam tindakan. Oleh karena itu, masalah etika dalam dunia bisnis secara ringkas dapat dikatakan mencakup mencakup persoalan tanggung jawab institusi, nilai dan norma moral yang diakui masyarakat dan persoalan mewujudkannya dalam tindakan-tindakan riil. Dengan mengacu pada penjelasan anatomi dunia bisnis, letak masalah etika segera dapat dirumuskan.
Tunggu Lanjutannya...